Kumparan.com– Secara mainstream Demokrasi dalam bayang masyarakat selalu mengarah pada proses sirkulasi kekuasaan yang disederhanakan sebagai proses Pemilihan Umum/pemilu. Demokrasi dimaknai pula sebagai proses kontestasi yang menghadirkan penyelenggara pemilu, kemudian partai politik, dan juga hadir individu untuk terlibat berkontestasi merebutkan jabatan politik diberbagai tingkatan dan diberbagai rumpun pemerintahan. Dari hasil survey yang dilakukan oleh DEEP di Jawa Barat pada pasca Pemilu 2024, kami menyayangkan bahwa kesimpulan akhir dari pemahaman Demokrasi di akar rumput terhitung dibawah standar yang substansial. 2 dari 10 orang memahami makna demokrasi secara utuh kemudian sisanya masih terjerat pada jebakan kuantitatif.
Jebakan Kuantitatif dalam hal ini yaitu stagnasi pemahaman yang tidak di upayakan secara massiv, terstruktur hingga terukur untuk memandang Demokrasi sebagai habitat hidup masyarakat, bukan ceremony belaka. Berbagai upaya giat dilakukan oleh lembaga pemerhati Demokrasi untuk membawa masyarakat agar reflektif memaknai Demokrasi yang Substantif/kualitatif, yang mana demokrasi tertuju pada penguatan relasi antara masyarakat dengan elit untuk melahirkan keputusan politik hukum yang mengarah pada terbentuknya masyarakat madani.
Pemilu secara priodik tidak lepas dari sekelumit dinamika social, politik, hukum, etik dan budaya. Lebih parahnya pemilu 2024 yang dilaksanakan secara serentak dari daerah hingga nasional serta di berbagai rumpun yakni eksekutif dan legislatif, meninggalkan residu yang cukup pekat dan dapat melahirkan dampak domino bagi indeks kesehatan Demokrasi Indonesia. Berbagai penyakit demokrasi hari ini tidak lain berkutat pada persoalan konflik kepentingan, korupsi, kolusi & nepotisme, kanibalisme internal partai yang jelas berdampak pada Public Trust, kemudian menurunnya kesehatan Demokrasi di Indonesia.
Lagu lama dengan judul kedaulatan dan dapur internal parpol selalu terdengar merdu di permukaan sebab dijustifikasi sebagai peristiwa hukum dan politik. Disadari atau tidak, situasi tersebut justru meragi masyarakat pada ruang distrust, dan dekadensi moral dan Demokrasi Indonesia. Sebab nyanyian demikian selalu bernada sumbang bahkan menegasikan kepentingan masyarakat. Selanjutnya penulis akan coba menarasikan secara literlek terkait makna lagu kedaulatan dan dapur internal parpol dalam beberapa situasi yang telah terjadi belakangan ini.
pertama, kanibalisme diinternal Partai Politik dalam kontestasi Legislatif. kanibalisme sebagai sifat alamiah yang melekat dan menjadi karakteristik hewan tertentu yang dapat memakan sesama jenisnya. Penyifatan kanibalisme kemudian disandarkan pada aktifitas partai politik yang tidak manusiawi artinya jelas memiliki konotasi negatif. beberapa laporan kepada DEEP Jawa Barat coba dihimpun dan tersimpulkan bahwa intensitas konflik Pileg 2024 berkutat pada persoalan kanibalisme internal partai, yakni manipulasi, pemindahan, penghapusan suara salah Calon Anggota Legislatif / Caleg kepada Caleg lainnya di partai yang sama. contoh pemindahan beberapa suara Partai kepada individu Caleg di partai yang sama secara sistematis untuk mengejar selisih yang tipis. hal demikian terjadi karna tidak setiap Caleg dipartainya menjadi prioritas, tidak adanya konsensi di internal dalam mengapresiasi Caleg lainnya. sehingga Pileg berakhir pada pertarungan bebas dan liar antar partai dan antar Caleg di Partai yang sama.
Kedua, Ramainya proses Pergantian Antar Waktu / PAW anggota legislatif melalui keputusan partai terhadap anggota legislatif terpilih sedari pelantikan. alih alih keputusan personal untuk mengundurkan diri, dibalik itu intervensi serta “polisi-polisi-an” terjadi diinternal partai politik. kontestasi legislatif yang menggunakan prinsip proporsional terbuka justru menghadirkan “man show” dengnan partai politik sebagai kendaraannya. hal ini kemudian berbuah pada pilihan yang ditentukan masyarakat di tps. ketetapan kursi dan siapa yang menduduki telah final seiring pembacaan keputusan calon anggota legislatif terpilih, lagi lagi manuver diinternal melakukan upaya meminta calon anggota terpilih untuk mengundurkan diri. lantas konstituen pada akhirnya menuntut rasionalisasi atas pengunduran calon terpilih atas keputusan parpol yang berujung pada skeptis masyarakat sebagai konstituen yang menitipkan harapan pada calon terpilih.
Ketiga, karakteristik partai politik yang sentralistik ditengah realitas indonesia yang memegang prinsip desentralisasi. praktek sentralisasi kebijakan partai politik justru tidak menghadirkan keserasian ditengah prinsip dasar ketatanegaraan yang melibatkan setiap tingkatan untuk dapat mandiri mengeluarkan keputusan dan kebijakan dalam koridor yang telah ditetapkan. hal ini berdampak pada dinamika internal partai politik yang tidak mencermati kebutuhan, evaluasi dan kepuasan ditingkatan daerah. seperti halnya adanya demarkasi antara kehendak masyarakat dengan keputusan partai politik dalam menentukan kandidat kontestan pemilu. bias nya pemahaman daerah dan kuatnya dinamika parpol tingkatan pusat hanya berkutat pada persoalan penguasaan leading sektor hingga negosiasi yang terperangkap dalam residu konflik politik pasca kontestasi ditingkatan nasional.
Besar harapan dalam mewujudkan masyarakat madani tertumpu pada partai politik sebagai episentrum kebijakan dan putusan politik yang diinfiltrasi kedalam lembaga pemerintahan. akan tetapi harapan tersebut menguap dalam kondisi dimana negara abai terhadap partai politik dalam berbagai aspek seperti pengawasan pendanaan partai politik, kampanye pemilu, hingga ancaman/hukuman terhadap partai politik yang bertindak menyalahi substansi demokrasi. kiranya perlu ada peninjauan terkait regulasi terhadap partai politik untuk membangun kepatuhan. sehingga hal tersebut dapat menekan dampak stagnasi demokrasi yang hadir dengan wujud feodalisme, menguatnya cengkram oligarki, hingga pembodohan masyarakat yang terstruktur dan sistematis, juga masyarakat yang dihantui distrust terhadap kekuasaan.