Bandung. Memasuki tahun politik menuju Pemilihan Umum 2024 potensi intoleransi dan politik identitas muncul di tengah masyarakat. Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia bersama dengan KAICIID menggelar kegiatan Focus Group Disscussion (FGD) on Promoting Alternative Voice “Interreligious Internet Campaign to Eliminate Religious Intolerance to deal with 2024 Indonesian Elections. Adapun yang menjadi peserta FGD tersebut adalah kelompok Gen Z di Jawa Barat yang mewakili beberapa organisasi seperti NU, Muhammadiyah,Persis, HMI, pegiat media sosial dan pemantau pemilu. Acara tersebut diselenggarakan di Hotel Amarossa pada 5 Juni 2023. Turut hadir menjadi narasumber perwakilan KAICIID, Direktur DEEP Indonesia dan Ahli Digital Public Relations Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran.
Diketahui, selama Tahun 2022, BNPT menemukan potensi radikalisasi di dunia maya juga cenderung meningkat seiring masifnya penggunaan internet yakni ada 600 situs dan akun di berbagai platform media sosial yang bermuatan unsur radikal terutama di daerah yang tingkat intoleransinya tinggi seperti di Jawa Barat. Situs-situs tersebut menyebarkan lebih dari 900 konten propaganda. Hal ini juga yang menjadi keresahan para pemikir kebhinekaan dan anak muda. Sebab sebagaimana dikatakan Prof Romo Magnis salah satu tantangan kebhinekaan selain dunia yang sedang dikuasai neoliberalisme adalah ekstrimisme ideologis agamis bahwa kegagalan demokrasi, kegagalan menciptakan perdamaian dan kesejahteraan bisa terus menerus memunculkan kekerasan, esktrimisme, intoleransi, eksklusivisme dan terorisme.
Dalam kesempatan diskusi, Direktur DEEP Indonesia, Neni Nur Hayati mengungkapkan sikap intoleransi terutama di Jawa Barat masih sering terjadi seperti penolakan pendirian rumah ibadah, pengrusakan tempat ibadah dan ujaran kebencian.
“Kecenderungan terjadi praktik intoleransi di Indonesia memasuki tahapan kampanye pemilu 2024 bisa berpotensi terjadi terutama di Jawa Barat, ketika pihak-pihak yang berkontestasi memanfaatkan isu politik identitas dan keagamanaan untuk mencari dukungan konstituen. Fenomena maraknya praktik politik identitas, meningkatnya aksi terorisme, dan pembusukan sistem demokrasi yang tengah terjadi “ Ungkap Neni.
Neni menambahkan ketika anak muda belum memiliki literasi kritis yang memadai, maka kemungkinan untuk menjadi korban penyebaran paham intoleransi, bahkan paham radikal menjadi lebih terbuka.
“Kehadiran media baru dan internet harus dijadikan sebagai sarana narrative counter-radicalism dengan menghadirkan wacana alternatif dan mengkampanyekan toleransi melalui media social masing-masing secara massif dengan merebut narasi public untuk bisa menyuarakan moderasi beragama menjelang pemilu 2024”.
Dalam kesempatan yang sama, Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran, Centurion Chandratama Priyatna menekankan kepada Gen Z pentingnya literasi digital, sebab tidak semua berita layak untuk dicerna.
“Tantangan demokrasi di era post truth lebih populis. Hoax menjadi masalah yang serius tetapi permasalahannya masyarakat semakin sulit mengidentifikasi” Terang Cendi Cendi mengajak gen Z yang ada di Jawa Barat untuk kritis agar bisa membangun toleransi yang tinggi. Cendi juga menyarakankan untuk gen Z “Think before you post”. Permasalahan interreligious kuncinya ada di literasi digital.