Suara.com– Pemilihan Kepala Daerah atau Pilkada Serentak 2024 berpotensi cukup banyak memunculkan calon tunggal. Kekinian ada 43 calon tunggal kepada daerah, mayoritas petahana. Situasi ini menunjukkan proses demokrasi di Indonesia semakin buruk.
Calon tunggal bukan situasi yang terjadi secara alamiah. Tetapi dirancang untuk kepentingan bagi-bagi kekuasaan oleh partai politik. Fenomena ini menggambarkan ada kartelisasi politik pada pemilihan pemimpin di tingkat daerah.
Sepuluh partai parlemen dan delapan partai nonparlemen kompak mengusung Herdiat Sunarya dan Yana D Putra sebagai pasangan calon bupati dan wakil bupati di Pilkada Kabupaten Ciamis 2024. Dukungan penuh dari partai politik nasional peserta pemilu tersebut menjadikan Herdiat-Yana sebagai calon tunggal yang berpotensi melawan kotak kosong.
Herdiat-Yana merupakan calon petahana. Pada Pilkada Kabupaten Ciamis 2019 mereka diusung Gerindra, PKS, PAN, Demokrat, NasDem, dan PBB.
Pada Pilkada Kabupaten Ciamis 2024, Herdiat-Yana diusung 10 partai parlemen dengan total 50 kursi di DPRD. Kesepuluh partai tersebut adalah PDIP, Gerindra, PAN, PKS, Golkar, Demokrat, PKB, PPP, Nasdem dan PBB. Sedangkan delapan partai nonparlemen yang turut mengusungnya, yakni PSI, Partai Buruh, Partai Perindo, Partai Gelora, Partai Garuda, Partai Hanura, Partai Ummat, dan PKN.
Kabupaten Ciamis hanya satu dari puluhan daerah lain dengan calon tunggal di Pilkada 2024. Data Komisi Pemilihan Umum pada 29 Agustus 2024 menjabarkan ada 43 calon tunggal yang berpotensi melawan kotak kosong. Satu di antaranya di Provinsi Papua Barat dan 42 lainnya ada di tingkat kabupaten/kota.
Pakar hukum kepemiluan dari Universitas Indonesia (UI) Titi Anggraini, mengungkap fenomena calon tunggal melawan kotak kosong telah ada sejak Pilkada 2015. Sepanjang Pilkada 2015 hingga Pilkada 2020 ia mencatat ada 53 calon tunggal yang melawan kotak kosong.
Angka persentase kemenangan calon tunggal melawan kotak kosong itu mencapai 98,9 persen. Satu-satunya calon tunggal yang kalah melawan kotak kosong, yakni pasangan Calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota Makassar Munafri Arifuddin-Andi Rachmatika Dewi pada Pilkada 2018.
Sementara di Pilkada 2024, Titi menyebut mayoritas calon tunggal di 43 daerah merupakan pasangan calon petahana. Sekalipun bukan, mereka memiliki relasi dengan petahana seperti yang terjadi di Brebes.
Calon Bupati Brebes Paramita Widya yang berpasangan dengan Wurja merupakan anak dari mantan Bupati Brebes 2002-2007 dan 2007-2010, Indra Kusuma. Paramita-Wurja adalah satu-satunya kandidat alias calon tunggal yang mendapat dukungan dari 11 partai politik untuk maju di Pilkada Kabupaten Brebes 2024.
Realitas bahwa calon petahana terlalu kuat, dominan, serta sulit dilawan menurut Titi acap kali menjadi alasan partai politik memilih calon petahana hingga menciptakan calon tunggal. Terlebih jika partai-partai politik itu sendiri juga tidak memiliki kader yang mumpuni dan modal logistik yang memadai.
“Itu yang membuat partai mengambil pilihan yang realistis dan pragmatis untuk mengusung calon tunggal,” kata Titi kepada Suara.com, Rabu (4/9/2024).
Fenomena calon tunggal di 43 daerah di Pilkada 2024 ini menurut Titi juga tidak mengenal istilah DNA Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus Prabowo-Gibran. Pilkada Kabupaten Ciamis dan Pilkada Wali Kota Surabaya yang calon tunggalnya didukung 18 partai politik ialah contohnya.
“Dia tidak mengenal DNA yang konsisten. Apakah dia terjadi hanya di anggota parpol KIM Plus atau bukan. Jadi dia lintas KIM Plus,” jelas Titi.
Guru Besar Ilmu Politik Universitas Andalas, Asrinaldi mengatakan pragmatisme para pengurus partai politik di Indonesia memang sudah pada titik mengkhawatirkan. Di mana mayoritas dari mereka dalam menentukan calon kepala daerah semata-mata lebih mengedepankan persoalan popularitas, elektabilitas dan mahar politik.
“Kondisi itu yang membuat buruk perpolitikan kita. Jadi bukan persoalan kaderisasi yang mereka jalankan dan itu menjadi bagian yang semakin lama kita berdemokrasi semakin memburuk kondisinya,” tutur Asrinaldi.
Sementara Ketua The Constitutional Democracy Initiative (Consid) Kholil Pasaribu menyampaikan, walaupun secara persentase jumlah calon tunggal di Pilkada 2024 mengalami penurunan dari sebelumnya hal ini tidak bisa dibiarkan dan dianggap wajar. Sebab kondisi tersebut membuat demokrasi tidak sehat.
Untuk meminimalisir munculnya kembali calon tunggal di Pilkada berikutnya, Kholil menyarankan adanya pembenahan aturan dalam Undang-Undang Pilkada. Misalnya, memuat aturan syarat ambang batas maksimum suara dukungan dari gabungan partai politik terhadap pasangan calon kepala daerah.
“Adanya pengaturan ambang batas maksimal tersebut membatasi menumpuknya banyak partai dalam satu koalisi pencalonan,” kata Kholil kepada Suara.com, Selasa (3/9).
Kartel Politik
Sementara Direktur Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia, Neni Nur Hayati menilai di samping mencerminkan pola politik pragmatis dan transaksional, fenomena calon tunggal di 43 daerah pada Pilkada 2024 ini menunjukkan adanya kegagalan kaderisasi partai politik.
Padahal putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor:60/PPU-XXII/2024 yang mengubah ambang batas syarat pencalonan kepala daerah telah membuka peluang besar bagi beberapa partai politik untuk mencalonkan kadernya sendiri.
Sehingga bagi Neni fenomena calon tunggal di Pilkada 2024 ini bukan lah sesuatu yang terjadi secara alamiah. Tetapi sesuatu yang dirancang untuk kepentingan bagi-bagi kekuasaan.
“Saya menyebutnya itu kartel politik. Jadi memang dengan secara sengaja, ada kondisi namanya state capture corruption di daerah. Manipulasinya itu dilakukan secara prosedur dengan tata cara yang mereka manipulatif untuk kemenangan mereka,” jelas Neni.
Kholil berpendapat serupa. ‘Keuntungan’ di balik praktik kartelisasi politik ini disebut Kholil menyebabkan partai politik lebih memilih ikut bergabung dalam koalisi besar daripada bertarung atau berkompetisi. Meski pun mereka tidak mendapatkan sumber daya yang besar, tetapi tidak kehilangan sumber daya apapun ketika bergabung ke dalam kartel politik.
“Ini perilaku pragmatis partai yang harusnya diubah dan diperbaiki dari dalam partai politik itu,” ujar Kholil.
Kondisi pemerintahan Presiden Joko Widodo dalam 10 tahun terakhir, lanjut Kholil, adalah gambaran buruknya praktik kartelisasi politik. Di mana kekuasaan yang absolut dengan dukungan mayoritas partai politik di DPR RI kerap kali menimbulkan kebijakan-kebijakan yang mengabaikan aspirasi serta partisipasi publik. Hal serupa pun terjadi di daerah.
“Tidak akan ada kajian kritis oleh DPRD. Semua kekuatan legislasi sudah dikuasai oleh eksekutif, apapun yang dibuat bisa. Ini situasi yang tidak sehat bagi demokrasi kita dan merugikan masyarakat,” tuturnya.
Kasih Pelajaran Parpol
KPU telah memperpanjang masa pendaftaran bagi pasangan calon khusus di 43 daerah yang hanya memiliki calon tunggal di Pilkada 2024. Perpanjangan masa pendaftaran tersebut dibuka sejak 2 hingga 4 September 2024.
Namun di hari pertama masa perpanjangan, belum ada satupun calon yang mendaftarkan diri. Jika kondisi ini tidak berubah hingga batas akhir masa perpanjangan pendaftaran, maka 43 pasangan calon tunggal tersebut akan melawan kotak kosong.
Dalam kondisi itu, Titi mendorong masyarakat di 43 daerah dengan calon tunggal tersebut mendaftar sebagai pemantau terakreditasi.
“Itu yang bisa menjadi peluang partisipasi kita dalam mengawal Pilkada berjalan luber dan demokratis,” katanya.
Sementara Kholil mengajak masyarakat menjadikan ini sebagai momentum untuk memberikan ‘pelajaran’ kepada partai politik.
“Kalau calon tunggal tetap dipaksakan, masyarakat bisa tidak memilih calon tunggal. Tetap datang ke TPS dengan cara memilih kotak kosong. Menurut saya itu adalah pelajaran paling tepat atau paling bermanfaat bagi partai politik kedepannya dan bagi daerah itu sendiri,” tandasnya.