KPU Dinilai Tak Transparan Soal Informasi Bacaleg

metrotvnews- Jakarta: Jarak waktu antara penetapan daftar calon sementara (DCS) menuju daftar calon tetap (DCT) anggota legislatif dinilai terlalu singkat. Masyarakat tidak memiliki waktu yang cukup dalam memberikan masukan dan tanggapan terhadap calon legislatif yang dinilai tidak layak untuk berkonstetasi dalam pemilihan umum (Pemilu) 2024.

Pegiat pemilu Neni Nur Hayati mengatakan ruang tanggapan yang diberikan Komisi Pemilihan Umum RI (KPU) hanya sekedar formalitas dalam memenuhi kewajiban. Minimnya informasi mengenai latar belakang caleg, seperti riwayat hidup, pekerjaan, pendidikan terakhir, dan domisili caleg menjadi sorotan para pegiat pemilu terhadap kualitas caleg yang akan masuk DCT.

"Hanya memuat daftar nama saja. Nyaris tidak ada informasi lain, sehingga pemilih kesulitan mengenali calon wakil rakyat," kata Neni melalui pesan singkat, Senin, 28 Agustus 2023.

Neni menilai dalam penetapan DCS yang lalu peran partisipasi masyarakat juga tidak terlalu maksimal. KPU hanya memberikan waktu 10 hari, dari 19 sampai 28 Agustus 2023, kepada publik untuk memberi masukan dan saran di kanal informasi milik KPU RI.

Hal ini kemudian menimbulkan tanda tanya besar di masyarakat mengenai kualitas para calon anggota legislatif yang akan mewakili mereka di pemerintahan. KPU sebagai penyelenggara pemilu seharusnya bisa memberikan ruang, waktu, dan informasi yang lebih luas sehingga dapat tercipta pemilu yang lebih berkualitas.

Informasi yang diterima masyarakat hingga tahap DCS hanya sebatas nomor urut, logo partai, dan nama bakal caleg. Hal ini dinilai sia-sia karena pengawasan publik tidak dimulai sedini mungkin.

"Masyarakat perlu tahu apalagi yang berkaitan dengan status mantan terpidana dan eks napi korupsi," jelas Neni.

Direktur Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia ini turut mengkritik kinerja Bawaslu yang belum mempublikasikan hasil pengawasan sementara. Sebagai lembaga independen, Bawaslu harusnya sudah melaporkan hasil pengawasan terhadap pengumuman DCS.

"Sosialisasi (Bawaslu) juga kurang dilakukan secara masif," ungkapnya.

Neni mengatakan informasi lengkap yang baru akan dikeluarkan usai penetapan DCT juga tidak akan terlalu berdampak. Pasalnya, waktu kampanye para caleg selama 75 hari sebelum pemilu terbilang sangat singkat.

Politik uang pun dikhawatirkan akan semakin merajalela melihat persaingan yang semakin ketat. Apalagi literasi politik dan tingkat ekonomi masyarakat yang masih rendah.

Dari hasil penelitiannya mengenai politik uang dan kemunduran demokrasi yang dilakukan di Thailand, Neni mengklasifikasi perilaku pemilih dalam politik transaksional menjadi lima kategori.

Dari lima kategori itu, kategori pemilih menikmati politik uang dan pemilih yang menolak politik uang tetapi menerima uang masih memiliki persentase tertinggi. "Di sinilah ada problem moral," ucap Neni.

Sebagai mitra strategis Bawaslu, Neni pun menyarankan agar KPU lebih transparan lagi terkait informasi calon legislatif. Apabila kondisi ini terus dipertahankan, kualitas pemilu hanya sebatas prosedural belaka.

"Kalau bersih kenapa harus risih, kalau transparan kenapa harus ger-geran," tulisnya.

Tidak transparannya KPU ini bisa berujung pada kecurigaan masyarakat terhadap proses dan hasil pemilu. Kepentingan politik individu dan kelompok tertentu jangan sampai menjadi penghalang KPU dalam menjalankan kewajibannya. (Bernardin Mario P Nosa)