kompas.com-“Pemusatan kekuasaan secara absolut di tangan otokrat yang membunuh republik demokratis secara gradual dan sistematis melalui pertunjukan kekuasaan yang tiranik (the ruthless use of power). Transisi demokrasi ke ambang tirani terbukti pada robohnya negara hukum.” (Sukidi, 2024).

APA yang menjadi keresahan seorang pemikir kebhinekaan lulusan dari Harvard University, Sukidi terhadap lunturnya nilai-nilai penghormatan demokrasi yang terjadi saat ini, juga menjadi kekhawatiran kita semua. Kebrutalan yang dilakukan oleh penguasa otokratik semakin menjadi-jadi dan terang benderang tanpa ada rasa malu.

Permainan politik secara telanjang yang dilakukan semakin gila, penuh intrik, pembodohan serta kebohongan kepada rakyat. Konstitusi, institusi peradilan dan partai politik dieksploitasi secara ugal-ugalan hanya untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya. Tidak sedikit berbagai peristiwa yang mengemuka di ruang publik menjadi dosa politik yang tidak akan pernah rakyat lupakan.

Itulah state capture corruption, di mana manipulasi tata cara dan prosedur yang dilakukan oleh para politisi, pejabat secara sengaja dibuat untuk menguntungkan individu dan kelompoknya, baik itu dalam bentuk peraturan, kebijakan termasuk juga putusan pengadilan.

Rakyat harus berjuang melawan rezim tirani yang tidak mengedepankan politik kemanusiaan dan keadaban. Politik yang hanya bertumpu pada kekuasaan semata bukan menjadi sarana untuk mewujudkan kesetaraan, kedamaian, dan kemajuan serta kemanusiaan dalam politik.

Berbagai kebijakan kontroversial dibuat, hal ini menjadi indikasi yang sangat serius proses demokrasi ke arah tirani.

Komunikasi Pemimpin Otokratik

Pemimpin yang sudah tidak ada lagi rasa malu dalam melakukan penyimpangan moral, cenderung gagal melakukan komunikasi publik dengan masyarakat dan tanpa ada rasa bersalah.

Rekayasa interview pemimpin dibuat seolah-olah wawancara dalam bentuk doorstop. Tindakan ini juga dinilai mencederai kode etik jurnalistik yang menyebabkan pembatasan kerja jurnalistik untuk memperoleh informasi yang akurat dan faktual.

Wawancara setingan tersebut menjadi seni menipu rakyat dengan wajah ganda. Masyarakat hanya mendapatkan informasi satu arah (one way communication). Sangat ironi, kemerdekaan pers yang semestinya dijunjung tinggi dengan keterbukaan, transparansi dan akuntabilitas, tetapi secara sengaja dibungkam dan ditutupi.

Model komunikasi seperti ini, sesungguhnya tidak layak menjadi pemimpin. Paling mudah dapat dianalisis oleh model klasik Aristoteles tentang kredibilitas komunikator. Model ini mengandung tiga unsur: etos, patos dan logos.