Perempuan Caleg Serba Terhalang Ajukan Sengketa Hasil Pemilu di MK
mediaindonesia.com- PEREMPUAN calon anggota legislatif (caleg) dinilai memiliki tantangan berlapis untuk mengajukan sengketa perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) di Mahkamah Konstitusi (MK). Itu menyebabkan sengketa hasil pemilu yang diajukan perempuan caleg di MK tahun ini hanya sedikit, yakni 11 dari 77 perkara.
Pengajar hukum pemilu dari Universitas Indonesia Titi Anggraini mengatakan, tantangan yang dihadapi perempuan caleg mulai dari dukungan partai politik pengusung, finansial, maupun bantuan hukum. Menurutnya, pengajuan PHPU bukan sesuatu yang mudah bagi caleg karena harus mendapat izin dari ketua umum dan sekretaris jenderal partai pengusung.
"Selain itu harus ada dukungan finansial untuk menopang kebutuhan dalam proses berperkara di MK, yang pastinya tidak sedikit. Sementara perempuan lebih punya keterbatasan modal finansial daripada caleg laki-laki," kata Titi kepada Media Indonesia, Selasa (26/3).
Lebih lanjut, ia menjelaskan perempuan caleg cenderung memiliki banyak pertimbangan dan mementingkan kondusifitas serta politik etis. Hal tersebut, sambung Titi, membuat perempuan caleg "tak mau ribut-ribut".
Lewat logika itu, alih-alih membuat situasi menjadi berlarut-larut, perempuan caleg akhirnya memutuskan untuk lebih baik tidak maju ke MK. Hal tersebut juga didasarkan karena perempuan caleg ingin mengedepankan relasi baik dengan rekan caleg satu partai untuk menghindari konflik yang membuat situasi tidak nyaman.
"Selain itu, perempuan caleg punya keterbatasan soal akses pada alat bukti dan bantuan hukum. Tidak semua caleg punya dukungan salinan C.Hasil yang memadai karena biasanya C.Hasil hanya dikuasai oleh segelintir elite partai saja," pungkas Titi.
Terpisah, Direktur Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia Neni Nur Hayati menjelaskan kondisi Pemilu 2024 sangat kompleks dengan berbagai keterbatasan internal partai politik dalam mendukung perempuan caleg. Berdasarkan hasil pemantauan pihaknya, tidak sedikit kandidat perempuan yang dicurangi seperti penggelembungan dan pergeseran suara.
"Tetapi tidak ada sama sekali dukungan secara serius dan melakukan pendampingan hukum dari partai politik," ungkap Neni.
Senada dengan Titi, Neni juga menilai kondisi perempuan caleg memiliki keterbatasan keterbatasan dana ketimbang kandidat laki-laki. Selain itu, edukasi yang diberikan partai politik juga masih minim terkait sengketa pemilu, sehingga kesulitan dalam mempersiapkan alat bukti.
"Memang ketidakterpenuhan perempuan caleg di setiap dapil menjadi faktor utama mengapa caleg perempuan minim yang melaporkan sengketa hasil ke MK," pungkas Neni. (Tri/Z-7)