Masjid, vihara, gereja dll merupakan tempat yang dianggap sakral, tapi juga secara historis tempat-tempat tersebut juga menjadi lumbung peradaban dan kemajuan manusia.
mengutip statement prof Mahfud MD, “bahwa kita bisa bicara politik dimasjid, tapi politik yang mana dulu” DEEP coba mengerucutkan permasalahan ini dalam konteks tempat beribadah yaitu masjid. Menanggapi hal tersebut bahwa tempat ibadah dengan kesakralannya memiliki sisi historis. dimana piagam madinah oleh Rasullullah S.A.W dengan sahabat sahabatnya melakukan diskursus terkait pembangunan prinsip humanism, kesetaraan dan kesejahteraan dimulai dari teras masjid. akan tetapi DEEP Kota Bandung menyoroti hal lain, agar kemudian kita tidak salah tafsir dari kebolehannya menggunakan masjid sebagai tempat kampanye.

Adrian yang kerap disapa Jodi sebagai Koordinator Jaringan DEEP Kota Bandung mengutip ; “Tidak ada larangan dalam ajaran agama untuk menjadikan masjid sebagai tempat pendidikan politik untuk masyarakat sepanjang yang disampaikan itu adalah nilai dan etika berpolitik,” ujar Zainut melalui siaran pers, Kamis (26/4) (sumber cnn indonesia) https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180426185800-20-293894/mui-masjid-tak-boleh-jadi-tempat-kampanye-dan-fitnah

Selanjutnya Jodi memaparkan “kami senada dengan MUI, bahwa pendidikan politik boleh dilakukan dimasjid, akan tetapi masjid bukan kemudian dikerucutkan menjadi ruang kontestasi dengan adanya pembagian APK, pemberian Amplop, Penyebutan jargon dan bentuk lainnya yang merujuk pada proses kampanye politik. DEEP Menganggap bahwa kampanye merupakan proses yang disebutkan dalam Pasal 267 “(1) Kampanye Pemilu merupakan bagian dari pendidikan politik masyarakat dan dilaksanakan secara bertanggung jawab” dan setiap apapun yang merupakan proses pengenalan, ajakan atau penekanan untuk memilih salah satu kandidat merupakan proses kampanye. kami mewajarkan terkait kinerja Panwas, PKD dan Bawaslu teramputasi oleh regulasi yang tak memberikan kepastian dalam proses pengawasan dan penindakan. Hal itu dibuktikan dengan wacana revisi PKPU terkait kampanye yang hanya jadi wacana, serta kekosongan aktifitas Bacaleg untuk menunggu keluarnya DCT dan disisakan waktu selama 75 hari untuk kampanye secara formal. kami kira waktu 75 hari akan melahirkan kerentanan adanya praktik money politic sebab kesulitannya bacaleg untuk membangun konsolidasi politik diberbagai titik dikhawatirkan berujung dengan penggunaan jalan pintas”

DEEP mendapatkan temuan dimana Bacaleg masuk masjid melakukan kampanye dengan membagikan stiker dan memberikan sejumlah uang dalam amplop, hal tersebut kemudian direspon oleh DEEP bahwa ini menjadi indikasi adanya kekosongan payung hukum yang melemahkan lembaga pengawas pemilu seperti bawaslu, Panwascam dan PKD.

“salah satu persoalan yang terjadi hari ini adalah kekosongan regulasi, entah mengapa rancangan PKPU yang mengatur proses kampanye tak kunjung hadir. entah KPU menyengajakan atau mungkin disibukan dengan aktifitas lainnya yang teramat urgent.” tambahnya.

Akan tetapi DEEP bersikukuh bahwa hal yang dilakukan oleh bacaleg tersebut walaupun dengan alasan bahwa hal tersebut wajar dilakukan karna diluar masa kampanye. tapi DEEP menyoroti hal tersebut dengan dengan tegas mengatakan bahwa hal itu merupakan pelanggaran pidana.

“Kami menemukan beberapa pelanggaran, contohnya salah satu Parpol dan Bakal Calon Anggota Legislatif melakukan pelanggaran Pidana berupa pembagian APK di salah satu masjid dan aktifitas lainnya yang merujuk pada aktifitas (Campaign) / Kampanye. PKPU No. 23 Tahun 2018 tentang Kampanye, sudah begitu usang dan tidak relevan dengan konteks pemilu hari ini. Dan bahkan bisa dikatakan batal demi hukum karna ketidaksesuaian unsur dan pasal dengan regulasi lainnya yang mengatur pemilu 2024. Akan tetapi butir (h) Pasal 280 UU nomor 07 tahun 2017 tentang Pemilihan umum sebagai lex generalis sebelum ada regulasi yang spesifik mengatur kami anggap berlaku sebagai dasar hukum pelarangan proses kampanye yang dilakukan oleh peserta pemilu di masjid. Selanjutnya Pasal 521 menyebutkan “dalam Pasal 280 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, huruf g, huruf h, huruf i, atau huruf j dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp24.OOO.OOO,0O (dua puluh empat juta rupiah).” artinya pelanggaran tersebut merupakan pelanggaran Pidana. Kami berharap, Bawaslu, PKD dan Panawscam dapat berimprovisasi demi terwujudnya pemilu yang substantif, tertib dan menjunjung tinggi prinsip demokrasi, sebab indonesia adakah negara hukum, maka semua tindakan penyelenggara pemilu harus berdasar pada Hukum yang berlaku” pungkasnya