Suara.com– Putusan No. 60/PUU-XXI/2024 tampaknya masih menuai permasalahan khususnya bagi anggota legislatif. Kendati PKPU No. 10 Tahun 2024 terkait Pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota telah disahkan dan telah mengakomodir putusan MK, namun tampaknya permasalahan terkait Pilkada belum tuntas.

Ketua komisi Pemerintahan DPR RI, Ahmad Doli Kurnia Tandjung mengatakan lembaganya berniat untuk mengevaluasi posisi MK karena dianggap terlalu banyak mengerjakan sesuatu yang bukan urusannya.

Independensi Lembaga Peradilan

Indonesia merupakan negara hukum yang berdaulat, sehingga untuk melegitimasi hal tersebut maka lembaga peradilan memiliki keistimewaan berupa kemandirian lembaga peradilan yang tidak dapat direcoki oleh siapa pun.

Konsep rule of law memiliki dua aspek penting yakni, hukum harus dapat mengatur masyarakat dan hukum harus memiliki kapasitas untuk dapat dipatuhi. Independensi lembaga peradilan menjadi aspek penting yang mesti dipenuhi untuk menegakkan rule of law.

Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga peradilan telah mendapatkan jaminan konstitusional atas status independensinya. Hal tersebut telah tertuang dalam konstitusi yang kemudian dalam pelaksanaannya diturunkan ke dalam undang-undang MK.

Kendati dalam pemilihan Hakim MK terdapat penunjukan hakim yang dipilih oleh lembaga negara akan tetapi, hal tersebut tidak mengurangi independensi hakim MK. Setiap hakim MK harus dapat memperlihatkan independensinya yang tidak terpengaruh oleh dari lembaga mana dia dipilih.  

Pemilihan hakim MK memang dapat dikatakan melalui sebuah proses politik akan tetapi, hal tersebut tidak menghapuskan posisi MK sebagai penjaga konstitusi yang tidak terikat dengan lembaga lainnya.

Upaya penghapusan independensi MK sebagai lembaga peradilan tentunya amat berbahaya dan harus dicegah karena peran krusial lembaga peradilan guna menegakan rule of law. Pengurangan independensi lembaga peradilan merupakan sebuah alarm peringatan berdirinya otoritarianisme.

Pelemahan MK sebagai lembaga peradilan menjadi mengarah ke upaya politisasi yudisial. Politisasi yudisial merupakan sebuah upaya pembentukan hukum dipengaruhi oleh kepentingan politik yang sering kali mengarah pada penyelewengan hukum.  

Hal tersebut tampaknya telah dialami oleh MK karena sering kali interpretasi putusan hakim mendapatkan interupsi kepentingan politik di dalamnya. Salah satu contoh Putusan MK yang sarat dengan kepentingan politis di dalamnya adalah Putusan No. 90/PUU-XXI/2023.

Kekuatan Putusan MK

MK merupakan lembaga penjaga konstitusi yang menjamin hak konstitusi tiap warga negara. Hal ini menjadikan seorang pemohon yang mengajukan permohonan pengujian undang-undang harus dapat membuktikan bahwa hak konstitusionalnya telah terengut dalam legal standing.

Putusan MK pada dasarnya bersifat final dan mengikat, sehingga putusan tersebut dapat langsung berlaku dan tidak dapat diajukan banding.

Pasal 24 C ayat (1) UUD 1945 telah secara jelas menyatakan bahwa Putusan MK bersifat final sehingga tidak ada Upaya hukum yang dapat ditempuh untuk mengajukan keberatan terhadap putusan MK.

Sifat dari putusan ini berkelindanan dengan kedudukan dan fungsi MK sebagai satu-satunya lembaga yang berwenang untuk memberikan penafsiran akhir terhadap konstitusi (the final interpreter of the constitution).

Konsekuensi sifat putusan MK yang mengikat mengakibatkan apabila suatu undang-undang telah ditetapkan inkonstitusional atau bahkan tidak berlaku, maka DPR wajib untuk menindak lanjuti putusan tersebut dengan melakukan perubahan atau bahkan membatalkan norma tersebut.

Hal ini berkaitan dengan prinsip lex prosteriori derogate legi infeori yang berarti hukum yang lama mengesampingkan hukum yang baru.

MK sebagai Negative Legislator

Terkait dengan Langkah MK yang telah keluar jalur, bahkan,MK menjadi pembuat undang-undang perlulah diketahui bahwasanya MK merupakan negative legislator, sehingga putusan MK mengikat secara umum baik untuk warga negara maupun terhadap lembaga negara agar tidak menerapkan hukum yang telah dibatalkan tersebut.

Fungsi negative legislator yang dimiliki MK menjadikan MK dapat membatalkan norma hukum yang telah ada. Hal ini menjadikan MK merupakan lembaga yudikatif yang hanya berwenang membatalkan norma yang telah dibentuk oleh DPR RI.

Hal ini merupakan pembeda antara MK sebagai negative legislator dengan DPR sebagai positive legislator. DPR dapat menciptakan norma baru sedangkan MK hanya dapat membatalkan norma yang telah dibentuk atau hanya memodifikasi norma tersebut.

Akan tetapi, norma yang telah dimodifikasi oleh MK tersebut hanya bersifat sementara hingga revisi yang telah dibentuk oleh DPR RI diberlakukan.

Sifat dari Putusan MK terkait pengujian perkara undang-undang terhadap UUD memiliki sifat konstitutif, sehingga putusan MK memiliki arti dapat menghapuskan hukum yang lama sekaligus membentuk hukum yang baru.

Perbedaan tafsiran antara MK dengan pembentuk undang-undang menjadi salah satu faktor penyebab pembentuk undang-undang sebagai subjek putusan sulit untuk menerapkan kebijakan baru tersebut.

Akan tetapi, terdapat asas hukum yang berbunyi undang-undang baru mengesampingkan undang-undang yang lama, sehingga putusan MK yang bersifat erga omnes merupakan undang-undang baru yang mengesampingkan undang-undang yang lama.

Berangkat dari hal tersebut maka, putusan MK yang berkenaan dengan Pilkada tersebut tidak keluar jalur. MK tetap menjadi lembaga yudikatif yang berwenang untuk mengevaluasi peraturan perundang-undangan agar tidak inkonstitusional dan tidak merenggut hak konstitusi warga negara.

Posisi dan kedudukan MK sebagai lembaga peradilan tidak perlu untuk dievaluasi atau bahkan dibatasi kewenangannya.