Kritik Soal Buzzer Kepala Daerah, Aktivis Neni Nur Hayati Diteror, Identitas Dibongkar di Medsos

Tayang: Kamis, 17 Juli 2025 14:17 WIB

TRIBUNPRIANGAN.COM, BANDUNG - Direktur Democracy and Election Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia, Neni Nur Hayati mendapat ancaman, doxing hingga teror di media sosial pribadinya. 

Serangan digital itu terjadi setelah Neni menyampaikan kritik tentang Buzzer mengancam demokrasi melalui akun media sosial pribadinya. 

Dikatakan Neni, kritik tentang bahaya buzzer yang dapat mengancam demokrasi bangsa itu, meneruskan berbagai informasi yang disampaikan oleh data Kompas terkait dengan Buzzer Mengepung Warga, Buzzer Politik Pemborosan Anggaran dan Alat Propaganda yang Mengancam Demokrasi serta Perangkat Teknologi yang Dipakai Buzzer Dijual Bebas. 

Kritik tersebut, kata dia, tujuannya sebagai edukasi publik dan mengingatkan kepada para kepala daerah untuk tidak melakukan pencitraan secara berlebihan dan melibatkan masyarakat dalam setiap pengambilan keputusan serta tidak mengerahkan buzzer untuk melakukan penyerangan kepada aktivis yang kritis terhadap kebijakan publik.

"Saya pun mengutip pemikiran Presiden Amerika Serikat periode 1961-1963, John F Kennedy yang mengingatkan kepada kita semua bahwa bangsa yang demokratis tidak perlu takut kepada rakyatnya, yang bebas berpendapat untuk menilai kebenaran atau kebohongan dari penyelenggara negara secara terbuka,” ujar Neni, Kamis (17/7/2025).

Neni menyatakan bahwa dalam video kritiknya terhadap kepala daerah itu, tidak spesifik menyebut Gubernur Jabar atau Dedi Mulyadi.

Video tersebut, kata dia, ditujukan secara umum kepada seluruh kepala daerah yang terpilih pada Pemilihan Serentak 2024.

“Saya menyadari bahwa memang dalam beberapa video mengkritik kebijakan Kang Dedi Mulyadi, tetapi juga dalam video lain ada pula yang saya apresiasi. Saya kira ini adalah hal yang wajar. Saya tidak melakukan penyerangan secara pribadi, yang saya kritisi adalah kebijakannya, Selain Kang Dedi, tentu ada banyak pejabat publik lainnya yang saya juga kritik melalui akun tiktok tersebut," katanya.

Video kritik Neni itu pun sempat mendapat respons dari Gubernur Jabar, Dedi Mulyadi melalui video yang diunggah di akun media sosial pribadinya.

Dedi pun menyatakan bahwa anggaran di Diskominfo Pemprov Jabar terbuka dan dapat dicek oleh siapa saja, termasuk untuk memastikan apakah ada anggaran untuk membayar Buzzer atau tidak. 

"Silakan dicek di anggaran Pemprov Jawa Barat, khususnya di Dinas Komunikasi dan Informatika. Apakah benar ada anggaran untuk membayar buzzer? Kalau ada, laporkan saja ke aparat penegak hukum," ujar Dedi.

"Ambil saja datanya, baca bukunya. Jangan asal tuduh. Kami terbuka kok. Tinggal datang dan lihat," tambahnya.

Video pernyataan Dedi Mulyadi di media sosial pribadinya itu, kemudian diunggah ulang oleh sejumlah akun media sosial resmi Pemerintah Provinsi Jawa Barat, yakni Diskominfo Jabar, jabarprovgoid, humas_jabar, dan jabarsaberhoaks.

Dalam postingan akun resmi Pemprov Jabar itu, ditambahkan foto Neni Nur Hayati, tanpa izin.

“Sampai saat ini postingan dalam tiktok saya tersebut mendapatkan like 1225 dan 441 komentar. Selain itu, sudah dua hari akun instagram dan tiktok saya banjir hujatan dengan kata-kata kasar secara bertubi-tubi dan tidak ada hentinya. Saya berupaya merespon dengan baik, namun akun-akun tersebut melakukan tindakan yang lebih brutal,”katanya.

Neni menyayangkan peristiwa ini terjadi dan menilai upaya penyerangan, teror dan peretasan yang dilakukan oknum tidak bertanggung jawab itu, sebagai bentuk kemunduran kebebasan berpendapat.

“Saya tentu sangat menyayangkan langkah Pemerintah Provinsi Jawa Barat yang memposting foto saya tanpa seizin, menafsirkan secara sepihak, menghakimi dan disebarluaskan melalui akun resmi Diskominfo. Alih-alih memberikan ruang untuk kebebasan berpendapat, yang terjadi justru mematikan ruang kebebasan itu dengan tindakan represif, padahal kita sudah berpuluh-puluh tahun melangkah dari runtuhnya rezim Orde Baru," ucapnya.

"Pembungkaman yang dialami oleh saya secara pribadi dengan pengintaian kegiatan di media sosial, peretasan akun, menjadi pertanda jatuhnya demokrasi, naiknya otoritarianisme dan semakin berada di persimpangan jalan. Saya tentu berharap negara sebagai pemegang otoritas hukum dan pembuat kebijakan masih membuka ruang untuk kebebasan berpendapat dan memberikan perlindungan hak berkumpul, berserikat dan berpendapat,” tambahnya. (*)

Add a Comment

Your email address will not be published.