Bawaslu Harus Berani Tindak Lanjuti Putusan MK Soal Netralitas TNI/Polri
Mediaindonesia.com-BADAN Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) didorong untuk menunjukkan tajinya dalam menegakkan pelanggaran pejabat daerah maupun anggota TNI/Polri terkait netralitas selama Pilkada Serentak 2025.
Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terbaru Nomor 136/PUU-XXII/2024, pejabat daerah dan anggota TNI/Polri kini sudah dapat ditindak lewat jalur pidana jika melanggar ketentuan netralitas dalam Undang-Undang Pilkada.
Direktur Democracy And Election Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia Neni Nur Hayati berharap, putusan MK tersebut dapat menjadi early warning atau peringatan dini bagi pejabat daerah serta anggota TNI/Polri. Ia pun mengingatkan peran Bawaslu sebagai ujung tombak penegakan hukum selama gelaran pilkada.
"Bawaslu sebagai ujung tombak proses penegakan hukum pemilu, dapat menindaklanjuti dan memedomani putusan MK ini. Jangan sampai, hambatan dalam menegakan ketidaknetralan pejabat daerah dan TNI/Polri ini ada di Bawaslu," kata Neni kapada Media Indonesia, Jumat (15/11).
Menurut Neni, kerja-kerja Bawaslu selama mengawasi penyelenggaraan Pilkada Serentak 2024 tidak cukup berhenti pada proses memetakan potensi kerawanan, mengumpulkan data data pejabat daerah dan atau TNI/Polri yang tidak netral. Penegakan hukum, sambungnya, juga mesti diprioritaskan Bawaslu.
"Putusan MK yang progresif harus didukung dengan tindakan Bawaslu yang juga progresif dalam mengusut tuntas banyak kasus," terangnya.
MK sendiri lewat putusan perkara uji materi Nomor 136/2024 pada Kamis (14/11) telah mengubah norma Pasal 188 UU Pilkada. Perubahan itu terjadi dengan menambahkan frasa pejabat daerah dan anggota TNI/Polri sehingga lengkapnya menjadi berikut ini:
"Setiap pejabat negara, pejabat daerah, pejabat Aparatur Sipil Negara, anggota TNI/POLRI, dan Kepala Desa atau sebutan lain/Lurah yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 bulan atau paling lama 6 bulan dan/atau denda paling sedikit Rp600 ribu atau paling banyak Rp6 juta." (J-2)