Menjawab Krisis Tata Kelola: Kepemimpinan Daerah Ditantang untuk Lebih Adaptif dan Transparan

TRIBUNJABAR.ID, BANDUNG Krisis kepercayaan publik, tekanan era digital, dan lemahnya partisipasi warga masih menjadi tantangan besar bagi tata kelola pemerintahan daerah.

Untuk menjawab kondisi ini, para kepala daerah dan perangkatnya mengikuti forum School of Political Leadership for Local Leaders yang digagas Democracy and Election Empowerment Partnership (DEEP)
Indonesia bersama Rumah Perubahan. 

Direktur DEEP Indonesia, Neni Nur Hayati, menyebut pentingnya investasi dalam kapasitas kepemimpinan daerah sebagai langkah strategis menghadapi krisis tata kelola pemerintahan. 

“Ini proses upgrading pemimpin daerah agar siap menghadapi era digital, tekanan publik, dan krisis kepercayaan terhadap birokrasi,” ujarnya, Senin (23/6/2025). 

Ia menekankan bahwa perubahan harus dimulai dari budaya organisasi dan keberanian mengambil keputusan yang berdampak.

Bupati Lamongan, Yuhronur Efendi, menggarisbawahi pentingnya peran pemerintah daerah dalam menjaga demokrasi. Ia menyoroti fenomena disinformasi yang kerap mengganggu ruang publik.

“Kita perlu waspada terhadap fenomena buzzer yang justru merusak ruang demokrasi. Pemerintah daerah harus hadir bukan hanya sebagai pelayan publik, tapi juga penjaga kualitas demokrasi di tingkat lokal,” ucapnya.

Urgensi perubahan juga ditegaskan oleh Prof. Rhenald Kasali, Guru Besar UI yang memperkenalkan konsep algorithmic leadership, yakni gaya kepemimpinan berbasis data, bukan sekadar intuisi.

“Pemimpin daerah harus memahami algoritma sosial, pola perubahan publik, dan logika digital governance jika ingin tetap relevan dan dipercaya,” jelasnya.

Di tempat yang sama, Prof. Dadang Rahmat Hidayat, Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran, menekankan pentingnya komunikasi publik yang tepat dan empatik, khususnya dalam situasi krisis.

“Komunikasi yang buruk akan mempercepat krisis, sementara komunikasi yang strategis bisa menyelamatkan reputasi dan stabilitas pemerintah daerah,” katanya.

Ia juga mengingatkan perlunya literasi media di kalangan birokrat.

Sementara itu, Prof. Firman Noor dari BRIN menilai perlunya pendekatan inklusif dalam membangun pemerintahan yang akuntabel.

“Kita tidak bisa bicara transparansi dan akuntabilitas tanpa membangun ruang partisipasi masyarakat. Pemerintah daerah harus hadir sebagai fasilitator, bukan semata administrator,” ungkapnya.

Dalam sesi penutupan, Anggota Komisi VI DPR RI,  Ahmad Labib, mengungkapkan pentingnya peningkatan kapasitas kepala daerah yang adaptif terhadap perubahan.

‎Hal tersebut seiringan dengan perubahan  yang terjadi setiap waktu, setiap saat dan tidak bisa di hentikan. 

‎"Kepala daerah hari ini harus jadi pemimpin yang terus belajar. Dinamika global, tekanan fiskal, dan ekspektasi publik tidak bisa dijawab dengan pola lama. Kapasitas adaptif, baik dalam berpikir maupun dalam mengambil keputusan adalah kunci bagi keberhasilan pemerintahan lokal,” ujar Ahmad Labib. (*)

Add a Comment

Your email address will not be published.