Strategi Komunikasi DEEP dalam Penguatan Organisasi, Studi tentang Pola Komunikasi Internal DEEP Indonesia

DEEP Indonesia- Dalam dinamika kerja organisasi masyarakat sipil yang bergerak di bidang pemantauan pemilu dan penguatan demokrasi, efektivitas kelembagaan sangat ditentukan oleh bagaimana komunikasi dikelola secara internal. Tidak hanya sebagai alat koordinasi teknis, komunikasi dalam organisasi juga berperan sebagai perekat nilai, jembatan antarindividu, dan penyangga keberlanjutan gerakan. Inilah yang menjadi kekuatan utama Democracy and Election Empowerment Partnership (DEEP Indonesia), sebagaimana diungkap dalam studi ilmiah yang dilakukan oleh Innasya Yudita Syamsudin dan Aminah Swarnawati dari Universitas Muhammadiyah Jakarta.
Dalam jurnal berjudul Pola Jaringan Komunikasi Organisasi pada DEEP Indonesia (2025), para peneliti menelusuri secara mendalam bagaimana komunikasi tidak sekadar menjadi instrumen informasi, tetapi juga membentuk pola interaksi yang memperkuat konsolidasi organisasi dari dalam.
“DEEP berhasil menjaga transparansi, akuntabilitas, dan efektivitas melalui implementasi pola jaringan komunikasi yang sesuai dengan kebutuhan organisasi,” tulis para peneliti dalam simpulan risetnya
Struktur Komunikasi yang Fleksibel dan Terarah
Penelitian ini menggunakan pendekatan studi kasus dengan metode kualitatif, yang mencakup wawancara mendalam dengan Direktur Eksekutif DEEP, Neni Nur Hayati, serta Bendahara, Hadi Muhammad Rizal. Melalui observasi dan penggalian naratif terhadap dinamika internal organisasi, ditemukan bahwa DEEP mengadopsi lima pola komunikasi berbeda yang digunakan secara situasional:
- Pola Roda, di mana Direktur Eksekutif menjadi pusat dari seluruh arus komunikasi. Model ini menjaga konsistensi informasi dan menyelaraskan keputusan strategis organisasi.
- Pola Rantai, diterapkan dalam urusan administratif dan pelaporan, yang mengikuti jalur hierarki ketat untuk menjaga ketelitian dan tanggung jawab.
- Pola Lingkaran, membuka ruang komunikasi horizontal antaranggota divisi agar dapat merespons dinamika lapangan dengan cepat.
- Pola Bintang (All-Channel), digunakan saat koordinasi program besar lintas divisi, seperti pelatihan audit sosial dan kampanye pendidikan pemilih.
- Pola Y, menggabungkan dua pusat komunikasi, yakni Direktur dan Wakil Direktur, yang membagi tugas kepemimpinan secara seimbang.
Kelima pola ini menunjukkan bahwa komunikasi dalam DEEP tidak bersifat kaku dan linear, tetapi disesuaikan dengan kebutuhan kontekstual, mencerminkan tingkat adaptasi struktural yang tinggi.
Komunikasi Inklusif sebagai Budaya Organisasi
Yang menarik dari praktik komunikasi di DEEP adalah keterbukaan dalam komunikasi internal. Meskipun memiliki struktur organisasi yang formal, praktik komunikasi sehari-hari berjalan dengan prinsip inklusif. Siapa pun, tanpa memandang jabatan, dapat menyampaikan pendapat, usulan, bahkan kritik dalam forum internal.
Budaya ini tercermin dalam kebiasaan diskusi yang dilakukan secara fleksibel. Rapat tidak harus selalu dilaksanakan secara formal. DEEP memanfaatkan teknologi daring, pertemuan informal di warung kopi, hingga diskusi santai antarkolega. Namun demikian, organisasi ini secara sadar memilih untuk tidak mengembangkan komunikasi informal sebagai jalur utama. Informasi strategis tetap dikelola dalam jalur komunikasi resmi yang terdokumentasi, demi menjaga akuntabilitas dan integritas informasi.
“Kami ingin semua komunikasi dapat ditelusuri, dapat dipertanggungjawabkan, dan tidak menimbulkan bias atau asumsi yang keliru,” tegas Neni Nur Hayati dalam wawancaranya
Setiap Orang Berhak Jadi Penengah
Dalam organisasi yang sehat, penyelesaian konflik tidak selalu bersifat top-down. DEEP mengadopsi pendekatan partisipatif dalam menyelesaikan ketegangan atau miskomunikasi internal. Peran mediasi tidak hanya berada di tangan pimpinan, melainkan dapat dijalankan oleh siapa pun yang dianggap tepat berdasarkan konteks.
Hal ini menunjukkan tingkat kepercayaan yang tinggi antaranggota organisasi, sekaligus mencerminkan komitmen DEEP terhadap nilai-nilai demokratis yang tidak hanya diterapkan ke luar, tetapi juga dijaga di dalam.
Regenerasi dan Komunikasi Intergenerasional
Sebagai organisasi yang berbasis relawan, DEEP memiliki tingkat regenerasi yang tinggi. Banyak kadernya yang kemudian direkrut menjadi penyelenggara pemilu (KPU/BAWASLU) atau menjadi bagian dari lembaga pemerintahan. Hal ini menimbulkan tantangan regenerasi internal yang harus diantisipasi secara sistematis.
Komunikasi menjadi alat utama dalam menjembatani proses ini. Dengan komunikasi yang terbuka dan intensif, kader baru dapat lebih cepat memahami kultur organisasi, struktur kerja, serta nilai-nilai yang dijunjung DEEP. Proses pengenalan organisasi tidak hanya dilakukan melalui pelatihan formal, tetapi juga melalui komunikasi interpersonal yang terbangun sehari-hari.
Relawan Bertahan Karena Dihargai, Bukan Karena Dibayar
Salah satu temuan penting dalam penelitian ini adalah bahwa keterlibatan relawan di DEEP tidak dilandasi oleh motivasi finansial. Para relawan memberikan kontribusi waktu, tenaga, dan gagasan mereka bukan karena insentif materi yang besar, melainkan karena mereka merasa dihargai, dilibatkan, dan diakui secara sosial.
Relasi ini dapat dijelaskan melalui teori pertukaran sosial, di mana organisasi dan individu saling memberi nilai nonmaterial, seperti pengakuan, ruang partisipasi, jejaring, dan rasa identitas sebagai bagian dari gerakan demokrasi.
Pengambilan Keputusan Berbasis Refleksi dan Konsensus
Sebagai lembaga pemantau pemilu, DEEP sering dihadapkan pada dilema dalam pengambilan keputusan strategis, seperti saat merespons pelanggaran pemilu, menyusun laporan pemantauan, atau memberikan rekomendasi kebijakan kepada penyelenggara pemilu. Dalam setiap proses ini, DEEP memilih jalur kolektif yang reflektif, bukan keputusan sepihak.
“Kami sadar bahwa satu keputusan bisa memengaruhi persepsi publik terhadap integritas kami. Karena itu, semua keputusan penting harus melalui proses diskusi terbuka,” jelas Rizal, Bendahara DEEP
Dengan cara ini, DEEP menjaga keseimbangan antara efisiensi dan kehati-hatian, serta menjamin bahwa seluruh keputusan didasarkan pada prinsip kebenaran dan keadilan.
Komunikasi sebagai Tulang Punggung Organisasi Demokratis
Studi ini mengonfirmasi bahwa komunikasi bukan hanya alat untuk bertukar informasi, tetapi juga fondasi yang menopang keberlanjutan organisasi. Dalam konteks DEEP Indonesia, pola komunikasi internal yang terstruktur, fleksibel, dan partisipatif menjadi kunci utama dalam menjaga efektivitas kelembagaan dan membangun solidaritas antaranggota.
Komunikasi bukan sekadar sarana teknis, melainkan juga manifestasi nilai-nilai demokrasi itu sendiri: keterbukaan, kesetaraan, kepercayaan, dan tanggung jawab bersama. Dengan mengelola komunikasi secara sadar dan strategis, DEEP tidak hanya memperkuat organisasinya, tetapi juga memperkuat demokrasi yang diperjuangkannya.
Referensi:
Syamsudin, I. Y., & Swarnawati, A. (2025). Pola Jaringan Komunikasi Organisasi pada DEEP Indonesia. Jurnal Ilmiah Komunikasi, Vol. 17, No. 1. Universitas Muhammadiyah Jakarta.